Jumat, 26 Maret 2010

AKAMENTO

Stasiun kereta di malam ranum tak ubahnya tanah pekuburan. Yang angker, hening dan senyap. Hanya ada dedaun kerpas atau kereta biru melintas lepas. Jejangkrik bungkam, dingin menusuk, dan para petugas berganti shift. Termasuk aku, lima di antara yang masih terjaga.

Aku tahu pasti di stasiun ini pernah terjadi kecelakaan . Seorang perempuan paruh baya, sebulan lalu, ditemukan tak bernyawa di rel – rel besi. Konon, arwahnya masih gentayangan di sekitar stasiun, tepatnya di kamar kecil. Tapi aku yakin, itu bukan dia. Karena aku pernah menemukan sesuatu, tepat malam ini. Di sana.

Toilet stasiun selalu lembab dan minim penerangan. Bahkan nyaris tak berbentuk ruangan; atapnya berlubang dan lantai selalu berair. Saluran air yang rusak mengakibatkan bunyi tetesan terus menggema di sudut – sudut tembok. Cat-nya pun sudah mengelupas dan meninggalkan bekas kapur yang kotor dan dingin. Tentu ditambah lampu lima watt yang bersinar kekuningan, tempat ini cocok menjadi pangkalan makhluk halus seperti Hanako atau Akaname. Banyak petugas yang memilih buang air di atas rel atau pepohonan. Hanya aku yang cukup bodoh bertahan, membuang air di tempat seram tersebut.

Seperti malam ini, ketika jam mendetak di dinihari, aku terpaksa pergi ke sana. “Hei, kau yakin?” Tanya seorang rekan kerjaku. Aku hanya mengangguk kecil sambil menyesap kopi yang rasanya terlampau pahit. Bulu kuduk sudah berdiri sejak tadi.

“Di zaman serba seluler ini kau masih percaya hantu? Jangan memaksaku tertawa,” jawabku.

Dingin menyergap sehalus bulir angin di kulit tanganku. Aku berlari kecil sesegera hembus napas yang mengembun di hidung dan mulut. Merinding. Dan aku lebih percaya pada persepsi purba bahwa hantu itu tak ada. Karena persepsi itulah, aku sampai di tempat ini, di toilet yang katanya angker itu. Meski tentu saja, aku sudah terbiasa dengan suasana tak nyaman di dalamnya.

Hingga sayup kudengar suara, entah perempuan atau lelaki, namun serak jelas terdengar. Teramat halus untuk suara manusia.

“Aka… mi… o… mi…” suara bergema. Sangat halus, seperti berbisik.

Aku, entah apa yang merasupiku, mengabaikan tujuan dan mencari arah suara itu. Hingga sepasang tangan menyentuh pundakku. Terkejut, aku membalikan badan, nyaris pingsan. Kau tak’kan percaya apa yang kulihat! Ia adalah sosok gelap berambut panjang, dengan mata merah dan bibir menyeringai. Kuku – kukunya berwarna hitam dan berbau amis, amis darah. Sekejap ia menghampiri wajahku, lalu berbisik tepat di telingaku. Kini perkataannya jelas terdengar:

“Akai kami – aoi kami? (tisu merah atau tisu biru?)”

Rafael Yanuar: 06 Maret 2010
______________________________________…

Youkai (sebutan untuk 'makhluk halus' di tanah leluhurku, Jepang) yang bernama Akamento ini, termasuk jenis youkai penunggu toilet yang sangat menyeramkan. Bila aku berkata ‘sangat menyeramkan’, maka percayalah itu benar adanya. Konon, Akamento selalu melemparkan pertanyaan pada siapapun yang bertemu dengannya dan hendak menggunakan toiletnya. Pertanyaannya sederhana, “Akai kami – aoi kami?” atau dalam Bahasa Indonesia, “Tisu merah atau tisu biru?”

Jika kamu bertemu dengannya dan menjawab pertanyaannya, maka inilah yang akan terjadi:

Tisu merah: kamu akan tewas dengan simbah darah di sekujur tubuh. Tisu biru: kamu akan tewas dengan tubuh membiru karena darahmu dihisap olehnya atau digantung seolah gantung diri. Bila menjawab dengan warna lain? Sederhana saja, kamu akan terlempar ke dunianya :).

2 komentar: